Khutbah I
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِتَرْك الْمَنَاهِيْ وَفِعْلِ الطَّاعَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ.
اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dalam salah satu riwayat shahih diceritakan bahwa pada zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam suatu hari seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Menyaksikan tingkah ganjil ini para sahabat pun menghardik si Badui.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah saat itu? Beliau melarang para sahabatnya naik pitam, kemudian membiarkan orang Badui tersebut menuntaskan hajat kencingnya. Selanjutnya Nabi memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami.
”Fa innamâ bu‘itstum muyassirîn wa lam tub’atsû mu‘assirîn. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan,” pesan Nabi.
Jamaah Jum’ah rahimakumullah,
Kisah ini hanyalah sepenggal bukti bertapa muliannya akhlak Rasulullah. Beliau menunjukkan sikap yang sangat elegan dan menampilkan pribadi tidak gampang panik. Rasulullah tentu tidak setuju ada air kencing di masjid karena itu merupakan najis yang merusak kesucian tempat ibadah. Namun, beliau juga tidak setuju bila sahabat-sahabatnya menghardik si Badui. Larangan tersebut menjadi bukti bahwa cara-cara emosional dan mudah menghakimi bukan solusi yang tepat.
Yang dilakukan Nabi adalah membiarkan si Badui yang terlanjur mengencingi salah satu sisi masjid, menyucikan najis, lalu berbincang dan menasihati si Badui secara baik-baik. Klarifikasi atau tabayyun ketika menyaksikan perkara ganjil sangat penting karena tak semua yang tampak salah adalah benar-benar salah secara mutlak. Bisa jadi kesalahan itu merupakan hasil dari ketidaktahuan, ketidaksengajaan, atau kesalahpahaman.
Nabi seolah hendak mengajarkan para sahabat tentang sikap yang tenang, berpikiran jernih, dan mengajukan penyelesaian masalah secara realistis dan manusiawi. Respon yang tak tergesa-gesa dan tak emosional memberi kesempatan bagi seseorang untuk banyak memfokuskan diri pada solusi nyata dan lebih bermanfaat. Kita bisa bayangkan, seandainya si Badui tadi menerima amarah para sahabat. Mungkin saja ia akan sadar akan kekhilafannya, tapi kemungkinan untuk takut lebih besar. Nabi tak menghendaki ketakutan tersebut terjadi dan karenanya pendekatannya sangat halus dan cenderung permisif. Lagi pula, Badui memang jauh dari peradaban kota sehingga perilaku nyelenehnya pun bisa dimaklumi.
Menunda atau lebih tepatnya bersabar atas kemungkaran tak selalu berarti membiarkan—apalagi menyetujui—kemungkaran itu terjadi. Kadang, sikap itu perlu diambil untuk menarik kemaslahatan yang lebih besar. Di dalamnya ada keharusan “memanusiakan manusia” yang mesti dipikirkan, proses dakwah santun yang perlu ditekankan, dan lain-lain. Ini pula yang ditunjukkan para pendakwah Islam di bumi Nusantara ini sehingga menuai kesuksesan yang luar biasa. Wali Songo menampilkan sikap yang tidak mudah panik, tidak gampang memvonis kafir, atau sikap-sikap keras lainnya.
Jamaah Jum’ah rahimakumullah,
Betapa sering kita dalam kehidupan sehari-hari melakukan kepanikan-kepanikan yang tidak perlu. Kepanikan yang membuat kita tergesa-gesa mengambil keputusan—meskipun tidak tepat. Kepanikan yang melalaikan kita untuk tabayyun, serta yang menjadikan kita tidak objektif dan utuh dalam melihat persoalan. Gejala ini banyak kita lihat ketika media massa memberitakan peristiwa-peristiwa yang tampak menghebohkan.
Yang ironis adalah manakala kehebohan itu menumpulkan akal sehat kita. Dengan munculnya berita ada aliran keagamaan baru, misalnya, kita tiba-tiba saja gemar menghujat sana-sini, meskipun kabar yang diterima baru sepintas saja atau mungkin rumor. Kepanikkan menandakan kedangkalan cara pandang dan pengetahuan. Sebab, pengetahuan yang luas akan melihat persoalan tidak hitam-putih karena melibatkan berbagai sudut pandang. Seperti cerita si Badui di atas, peristiwa tak dilihat dari sisi “mengencingi masjid” belaka dan karenanya pasti sesat, melainkan juga penting mencermati latar belakang mengapa tingkah itu bisa terjadi: kadar pengetahuan si Badui, kondisi sosialnya sebagai masyarakat gurun, dan lain sebagainya.
Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali pernah berujar dalam karyanya, Tahâfutul Falâsifah:
ضَرَرُ الشَّرْعِ مِمَّنْ يَنْصُرُهُ لَا بِطَرِيْقِهِ أَكْـــثَرُ مِنْ ضَـرَرِهِ مِمَّنْ يَطْعَنُ فِيْـهِ
“Bahaya terhadap agama yang datang dari para pembelanya yang menggunakan cara-cara menyimpang lebih besar daripada bahaya yang datang dari para pencelanya yang memakai cara-cara yang benar.”
Statemen ini berpesan agar umat Islam menjadi pembela agama yang sesuai dengan jalur yang sudah digariskan. Sebab, pembela agama yang menyimpang lebih buruk dari para penghina yang menggunakan cara-cara yang benar. Jalur yang digariskan tersebut tentu saja sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, yakni mengedepankan akhlak, kejernihan pikiran, sabar, tidak gampang panik, dan sikap terpuji lainnya.
Kita semua tentu paham bahwa sebagai pengemban risalah suci, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam banyak sekali melewati tantangan. Besarnya tanggung jawab yang dipikul menjadikan beliau harus menanggung besarnya cobaan yang mesti dihadapi. Oleh masyarakat musyrik kala itu, Rasulullah tak hanya sering dilempari kotoran unta atau dihujami batu, tapi juga pernah mengalami percobaan pembunuhan berkali-kali. Di tengah kondisi yang membahayakan nyawanya sendiri itu, Rasulullah justru kian teguh, kemuliaan akhlaknya semakin tampak dan memikat lebih banyak orang, tak terkecuali musuh-musuhnya.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
[…] Menjadi Muslim Yang Tak Gampang Panik […]