Konsep Fiqih dan Ibadah Dalam Islam

Di dalam syariat Islam terdapat tiga bagian yang sangat urgen dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lain yaitu:

Pertama, Ilmu Tauhid yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.

Kedua, Ilmu Akhlak yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.

Ketiga, Ilmu Fikih yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya.

  1. Konsep Fikih dalam Islam

Kata fikih adalah bentukan dari kata fiqhun yang secara bahasa berarti فَهْمٌ عَمِيْقٌ (pemahaman yang mendalam) yang menghendaki pengerahan potensi akal. Ilmu fikih merupakan salah satu bidang keilmuan dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.

Definisi fikih secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga tidak pernah bisa kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya sendiri. Sebagai misal, Abu Hanifah mengemukakan bahwa fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fikih bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam berislam, yang bisa masuk pada wilayah akidah, syari’ah, ibadah dan akhlak. Pada perkembangan selanjutnya, kita jumpai definisi yang paling populer, yakni definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi yang mengatakan bahwa fikih sebagai ilmu tetang hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci.

Sekarang mari kita lihat beberapa definisi fikih yang dikemukakan oleh ulama ushul fikih berikut:

  1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Definisi ini muncul dikarenakan kajian fikih yang dilakukan oleh fuqaha’ menggunakan metode-metode tertentu, seperti kias, istihsan, istishab, istislah dan sadduz zari’ah.
  2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah), anjuran untuk melakukan (sunnah), maupun anjuran agar menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumber syari’ah, bukan akal atau perasaan.
  3. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Dari sini bisa dimengerti kalau fikih merupakan hukun syari’at yang lebih bersifat praktis yang diperoleh dari istidlal atau istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber syari’at (al-Qur’an dan al-Hadis).
  4. Fikih diperoleh melalui dalil yang terperinci (tafshili), yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, kias dan ijma’ melalui proses istidlal, istinbath atau nadhar (analisis). Oleh karena itu tidak disebut fikih manakala proses analisis untuk menentukan suatu hukum tidak melalui istidlal atau istinbath terhadap salah satu sumber hukum tersebut.

Ulama fikih sendiri mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha membaginya menjadi dua pengertian, yakni: pertama, memelihara hukum furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath’i maupun yang bersifat dhanni.

Sementara itu, Musthafa Ahmad az-Zarqa, seorang pakar fikih dari Yordania, membagi fikih menjadi dua, yaitu ilmu tentang hukum, termasuk ushul fikih dan kumpulan hukum furuk.

  1. Ruang Lingkup Fikih

Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu Fikih adalah semua hukum yang berbentuk amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syariat Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).

Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram; di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah dan sebagainya.

Obyek pembicaraan Ilmu Fikih adalah hukum yang bertalian dengan perbuatan orang-orang mukallaf yakni orang yang telah akil baligh dan mempunyai hak dan kewajiban. Adapun ruang lingkupnya seperti telah disebutkan di muka meliputi:

  1. Pertama, hukum yang bertalian dengan hubungan manusia dengan khaliqnya (Allah SWT). Hukum-hukum itu bertalian dengan hukum-hukum ibadah.
  2. Kedua, hukum-hukum yang bertalian dengan muammalat, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya baik pribadi maupun kelompok. Kalau dirinci adalah:
  • Hukum-hukum keluarga yang disebut Al Ahwal Asy Syakhshiyyah. Hukum ini mengatur manusia dalam keluarga baik awal pembentukannya sampai pada akhirnya.
  • Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian manusia dengan hubungan hak kebendaan yang disebut mu’amalah maddiyah.
  • Hukum-hukum lain termasuk hukum-hukum yang bertalian dengan perekonomian dan keuangan yang disebut al ahkam al iqtishadiyah wal maliyyah.

Inilah hukum-hukum Islam yang  dibicarakan dalam kitab-kitab Fikih dan terus berkembang.

  1. Perbedaan Fikih dengan Syari’at

Secara etimologi, kata syari’at berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering digunakan untuk jalan yang lurus (الطريقة المستقيمة), yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syari’at menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah SWT (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk umat manusia. Secara umum keberadaan syariat Islam ialah untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual  untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan istilah Maqhasid Al Syariah yaitu:

  1. Untuk memelihara agama (Hifdz Al din)

Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia.

  1. Memelihara jiwa (Hifdz al Nafs)

Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia dalam arti luas. Larangan membunuh  manusia merupakan salah satu bentuk dari peran syariah untuk memberikan kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.

  1. Memelihara akal (Hifdz Al Aql)

Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal sebagai anugerah Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah diantara anugerah Allah yang paling utama, sehingga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk lain dan dapat membedakan antara manusia yang sehat jiwanya dengan manusia yang tidak sehat jiwanya

  1. Memelihara keturunan (Hifdz Al Nasl)

Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu bentuknya adalah hukum tentang pernikahan yang telah banyak diatur dalam Al-qur’an dan As-sunnah.

  1. Memelihara harta (Hifdz Al Mal)

Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.

Selanjutnya, mari kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara terminologis berikut:

  1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syari’at sama dengan agama
  2. Manna al-Qaththan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syari’at merupakan segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
  3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syari’at adalah segala yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya disebut dengan teks-teks suci (النصوص المقدسة).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad. Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini mengatakan bahwa syari’at selamanya bersifat benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk benar ataupun salah.

Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga tidak boleh meremehkan begitu saja karena para ulama dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau tidak dapat dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah penyakit yang direkomendasikan oleh dokter berdasarkan keilmuan yang dikuasainya. Oleh karena itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter. Namun demikian, bukan berarti dokter adalah sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok manusia biasa yang mungkin juga melakukan kesalahan. Nah, bagi pasien yang gejala penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan baru ke dokter lain yang lebih ahli (dari dokter umum ke spesialis, misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan kesalahan malpraktik atau tidak, bisa melakukan penelitian untuk membuat kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan seorang dokter.

Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam fikih, karena dasar berpijaknya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah (sebagai korpus terbuka, di mana seluruh umat bisa mengaksesnya), setiap fatwa fikih yang dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah fatwa fikih yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat pun akan tenang melakukan fatwa tersebut sebagai sesuatu yang benar secara syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah fatwa inilah yang justru disarankan dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid).

Sehingga letak perbedan antara  Syariah dan Fikih adalah sebagai berikut:

Contoh Sederhana Perbedaan Syari’at, Fikih dan Bukan Fikih

 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…. (al-Maidah: 6)

عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخاري)

Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR. Bukhari, Hadis No. 1)

Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala dan membasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki diperoleh dari al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah). Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas gambaran yang membedakan syari’ah, fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan sambil belajar di Madrasah kalian.

Contoh yang lain adalah tentang perintah sholat dan tata cara pelaksaannya. Perintah sholat adalah masuk kategori syariah, sementara tata cara pelaksaan sholat adalah masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada gerakan dan beberapa bacaannya terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama yang lain. Sementara gerakan yang tidak termasuk fikih adalah memutar-mutar tangan pada saat setelah takbiratul ikhram.

  1. Ibadah dan Karakteristiknya
  2. Pengertian Ibadah

Menurut bahasa ada tiga makna dalam pengertian ibadah; (1) ta’at (الطاعة); (2) tunduk الخضوع);) (3 (hina (الذلّ); dan (التنسّك) pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.

Didalam Al Qur`an, kata ibadah berarti: patuh (at-tha`ah), tunduk (al-khudu`), mengikut, menurut, dan do`a. Dalam pengertian yang sangat luas, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maunpun perbuatan. Adapun menurut ulama Fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.

  1. Dasar tentang ibadah dalam Islam

Dalam al-Qur’an banyak ayat tentang dasar-dasar tentang ibadah sebagaimana berikut di bawah ini :

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. ( Q.S. Adz-Dzariyat : 56 )

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,( Q.S. Al-Baqarah : 21 )

 

  1. Macammacam Ibadah

Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi 2 yakni : ibadah khassah (khusus) atau mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.

  1. Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau pebuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Oleh karena itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah seperti, shalat, zakat, puasa, dan haji.

  1. Adapun ibadah ghairu mahdah adalah ibadah umum berbentuk hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Ibadah ini tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan kepada manusia sendiri. Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan prinsip-prinsip umum saja. Misalnya : menyantuni fakir-miskin, mencari nafkah, bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.

Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 bentuk, yakni sebagai berikut:

  1. Ibadah Jasmaniah Rohaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani misalnya shalat dan puasa.
  2. Ibadah Rohaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta seperti zakat.
  3. Ibadah Jasmani, Rohaniah, dan Maliah yakni ibadah yang menyatukan ketiganya contohnya seperti ibadah Haji.

 

Ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah dibagi menjadi 2 yaitu kepentingan fardi (perorangan) seperti shalat dan kepentingan ijtima`i(masyarakat) seperti zakat dan haji. Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada 5 macam yaitu sebagai berikut :

  1. Ibadah dalam bentuk pekataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al Qur`an.
  2. Ibdaha dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
  3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
  4. Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, i`tikaf, dan ihram.
  5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.
  6. Prinsip prinsip-prinsip ibadah dalam Islam

Ibadah yang disyari’atkan oleh Allah SWT dibangun di atas landasan yg kokoh, yaitu :

  1. Niat lillahi ta’ala (Al-Fatihah/1:5)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.

 

  1. Ibadah yang tulus kepada Allah SWT semata haruslah bersih dari noda-noda kesyirikan. Apabila sedikit saja dari kesyirikan bercampur dengan ibadah maka rusaklah ibadah itu .Ibadah dilakukan tanpa perantara,baik berupa manusia,binatang, benda,maupun tumbuh-tumbuhan.

 

ö@è%!$yJ¯RÎ)O$tRr&׎|³o0ö/ä3è=÷WÏiB#Óyrqュ’n<Î)!$yJ¯Rr&öNä3ßg»s9Î)×m»s9Î)ӉÏnºur(`yJsùtb%x.(#qã_ötƒuä!$s)Ï9¾ÏmÎn/u‘ö@yJ÷èu‹ù=sùWxuKtã$[sÎ=»|¹Ÿwurõ8Ύô³ç„ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ÿ¾ÏmÎn/u‘#J‰tnr&
Barangsiapa mengharap perjumpaan dgn Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh & janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kpd Rabb-nya” (QS Al Kahfi:110)

 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yg baik bagi kalian…” (QS Al Ahzaab:21)

  1. Keharusan menjadikan ibadah dibangun diatas kecintaan, ketundukan, ketakutan dan pengharapan kepada Allah SWT.

– “Orang-orang yg mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yg lebih dekat (kepada Allah) & mengharapkan rahmat-Nya & takut akan azab-Nya” (QS Al Israa’ :57)

  1. Seimbang antara dunia akhirat, artinya proporsional tidak hanya semata-semata kehidupan akhirat saja yang dikejar tetapi kehidupan dunia juga tidak dilupakan sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT (Al-Qashash/28:77)

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

  1. Tujuan ibadah dalam Islam

Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mengharapkan  ridha dari  Allah SWT. Sehingga ibadah disamping untuk kepentingan yang bersifat ukhrawi juga untuk  kepentingan dan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat yang bersifat duniawi.

  1. Rukun Ibadah

 

  1. Al-Hubb (cinta)

Dengan kecintaan yang tinggi kepada Allah subhanahu wata’ala, seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala, sebab puncak dari al-Hubb adalah penghambaan. Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Allah azza wajalla kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta.

  1. Al-Khouf (takut)

Ia merupakan peribadatan hati dan rukun ibadah yang agung di mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Allah swt sebagaimana yang Dia perintahkan kepada hamba-Nya tidak akan lurus kecuali dengannya. Khauf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa hukuman dan adzab dari Allah yang menimbulkan sikap penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya.

  1. Ar-Raja’ (berharap).

Ia juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala dari Allah subhanahu wata’ala yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala.

Maka, ibadah yang telah Allah azza wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut dengan sempurna. Peribadahan kepada Allah azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah.

Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.

  1. Keterkaitan ibadah dalam kehidupan sehari-hari

Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.

5 3 votes
Article Rating

Tinggalkan Pesan

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

imamrestu.com

 Loading . . .